Selasa, 19 November 2013

Yoga



Yoga Marga
Kata yoga berasal dari bahasa Sansekerta yuj, artinya menghubungkan atau hubungan , yakni hubungan yang harmonis dengan objek yoga. Tetapi apakah yang dimagsud? Maharsi Patanjali dalam kitabnya, Yogasutra (I:2) mendifinisikan yoga : yogas citta vrtti nirodhah. Artinya, mengendalikan gerak-gerik, pikiran, atau cara untuk mengendalikan tingkah-polah pikiran yang cenderung liar, bias, dan lekat terpesona oleh aneka ragam objek (yang di khayalkan) member nikmat. Objek keinginan yang dipikirkan member rasa nikmat itu lebih sering kita pandang ada di luar diri. Maka kita selalu pergi mencari. Bagi sang yogin. Inilah pangkal kemalangan manusia. Sebagai makhluk malang, karena sibuk sebagai pelayan melayani berbagai aneka keinginan. Dan, ternyata keinginan itu tidak pernah dipuaskan.
Oleh karena itu, kini kita mulai menyadari bahwa mengendalikan pikiran adalah hal yang terpenting. Mengendalikan dalam konteks yoga lebih berarti amuter tutur pinahayu ‘membalik kesadaran secara benar’ (Kanwa, X:1). Artinya, kesadaran yang sebelumnya cebderung mengarah keluar dan suka berada di luar diri adalah kesadaran yang lebih cenderung terjebak, karena seringkali didasari oleh pengetahuan yang keliru. Oleh sebab itu, kini kesadaran itu mesti dibalik. Maksudnya, pikiran hendaknya diusahakan berdasarkan atas pengetahuan yang benar. Biar seimbang dan tidak cenderung lupa diri, sewaktu-waktu dalam waktu yang tepat kita perlu meluangkan waktu untuk membalik pikiran, yakni diarahkan ke dalam diri dengan cara :
1.      Duduk mantap dalam diam terpejam;
2.      Dengan nafas halu alami;
3.      Lalu secara rileks menarik pikiran (indra) agar terlepas sebentar dari aneka objek nikmatnya diluar;
4.      Terus diarahkan kembali pulang kandang, ke dalam diri;
5.      Terus dibiaskan terkonsentrasi menembus lapis-lapis dirimenuju pada satu titik pusat meditasi (missal, paada salah satu cakra ‘simpul bathin’);
6.      Disitu lalu ditenangkan, dimurnikan, dan dikontemplasikan dalam renungan mendalam;
7.      Dan bila berhaasil mencapai puncak perenungan mendalam itu, maka terseraplah dalam kelenyapan dalam itu, kebahagiaan sejati.

Kata sang Rsi, ia yang ulah pageh ‘tekun berusaha dan mantap’ seperti itulah yang disebut-sebut sebagai orang yang berhasil dalam yoga : mendapat pencerahan yang membehagiakan. Cirinya, ia punya siddhi atau taksu ‘daya bathin dan kharisma’. Mpu Kanwa mengisyaratkan kepada kita bahwa, yoga adalah jalan kesucian untuk menemukan,memahami, dan mengalami kemanunggalan yang suci. Pengalaman religious itu sulit dilukiskan dengan kata-kata, karena itu Mpu Kanwa memakai bahasa kias. Diri kita diibaratkan sebagai sebuah tempayang yang berisi air. Secara potensial, di setiap tempayang yang berisi air pastilah berisi bayangan bulan. Pada tempayang yang airnya keruh dan kocak bayangan bulan itu tentulah tidak tampak. Sebaliknya, pada tempayang yang berisi air bersih, jernih, tenang bayangan bulan tampak jelas. Yang dimagsud bayangan bulan adalah jiwa. Lebih tepatnya Atma ‘roh atau Sang Diri Sejati’. Demikianlah sesungguhnya keberadaan Atma  ‘roh’ itu pada setiap yang menjadi, pada setiap orang. Akan tetapi, Atma ‘roh’ menjadi sakala ‘tampak nyata’ hanya pada ia yang rajin mengamalkan yoga.
Simpul kata, yoga adalah jalan untuk mulat sarira ‘merefleksi diri, introspeksi diri’ yang menyebabkan orang tahu diri. Disebut juga sebagai jalan panyupatan  ‘ruwatan’ yang dapat menjadikan orang suci lahir dan bathin. Suci berarti sahrdaya, yakni sehati dalam Tuhan Yang Mahasuci.
Tujuan riil (jangka pendek) orang belajar yoga adalah agar menjadi manusia rahayu : sehat dan bahagia lahir dan bathin, tidak sakit-sakitan, terhindar dari penderitaan. Agar menjadi manusia sadar:dapat melakasanakan tugas hidup sebagai mana mestinya.
Sementara tujuan ideal (jangka panjang), yakni mendapatkan pengalaman religius, yakni mengetahui,mendalami dan mengalami kemanunggalan dengan Sang Jati Diri, manunggalnya Atma ‘roh individu’ dengan Brahman ‘roh semesta, Tuhan’. Akan tetapi, bagi pengagum daya magis, siddhi ‘kekuatan supranatural’ itulah dijadikan tujuan utamanya, maka ia melaksanakan yoga yang khas. Ajaran yoga adalah anugrah yang luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja yang melaksanakan hidup kerohanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menginsyafi kenyataaan adanya roh sebagai azaz yang bebas, bebas dari tubuh indriya dan pikiran yang terbatas. Karya pertama dari ajaran ini ialah yoga sutra tulisan Rsi Patanjali. Beliaulah pendiri sistim ajaran yoga, walaupun unsure-unsur ajarannya sudah ada sebelum karya tulis ini.

A.    Penciptaan Alam Semesta Menurut Ajaran Yoga
Dalam ajaran yoga dijelaskan bahwa dua asasi pokok yaitu Purusa dan Prakerti merupakan suatu kenyataan terakhir dari segala sesuatu. Jumlah Purusa jamak dan alam semesta dialirkan dari Prakerti, dengan perkembangan dari mahat/budhi, ahamkara, manas, panca buhindriya, panca karmendriya, panca tan matra dan panca maha butha yang diterima oleh yoga.
Dalam proses penciptaan alam semesta menurut ajaran yoga sama pula dengan ajaran samkya yaitu secara evolusi dimana citta dipandang sebagai hasil pertama dari perkembangan prakerti. Yang dimagsud dengan citta ialah gabungan budhi, ahamkara, dan manas. Citta memantulkan kesadaran dari purusa sehingga dengan demikian citta menjadi sadar dan berfungsi dengan bermacam-macam cara.
Tiap purusa berhubungan dengan suatu citta, yang disebut dengan karana citta. Karana citta dapat berkembang dan mengecil sesuai dengan tubuh atau tempat yang ditempatinya. Karana citta mengecil dalam tubuh binatang tetapi mengembang dalam tubuh manusia. Karana citta yang berhubungan dengan suatu tubuh disebut karya citta. Tujuan system yoga adalah mengendalikan citta dalam keadaan yang semula, yang murni tanpa perubahan sehingga dengan demikian purusa dibebaskan dari pendderitaan. Di dalam hidup sehari-hari citta menyamakan diri dengan yang disebut wretti, yaitu bentuk perubahan citta dalam menyesuaikan diri dengan objek pengamatan.
Dengan memulai aktifitas citta purusa tampak seolaholah berbahagia dan menderita. Aktivitas citta dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga dengan demikian manusia terlibat dalam samsara, yaitu mengalami kelahiran berulangkali. Kecendrungan manusia mengalami penderitaan itu ialah karena disebabkan oleh klesa-klesa yang ada dalam dirinya yaitu :
Awidya (ketidaktahuan), asmita yaitu menyamakan purusa dengan  tubuh, pikiran dan perasaan diri pribadi, raga (terikaat pada nafsu), dwesa (ke-engganan untuk menderita), dan abhinewesa (keinginan hidup yang panjang)
Agar purusa dapat dilepaskan dari ikatan dari prakerti, seorang hendaknya dapat menindas wretti, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa sebab klesa-klesa itu mewujudkan suatu fungsi yang menjadi suatu dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya. Jadi di dalam hidup kejiwaan manusia terdapat suatu perputaran yang tiada putus-putusnya, yaitu perputaran wretti, keinginan klesa-klesa, ketidaktahuan dan sebagainya.

B.     Etika Yoga : Yama – Niyama Brata
Untuk dapat ekagra ‘memusatkan pikiran secara benar dan baik’ lalu mencapai nirudha ‘keadaan senang sentosa’, orang pertama-tama dianjurkan untuk mentaati brata yoga ‘disiplin yoga’ yang disebut Yama dan Niyama Brata. Yama artinya pengekangan diri yang mesti senantiasa dilaksanakan. Sedangkan Niyama Brata adalah janji dari yang dapat dipandang sebagai pengokoh yama. Niyama dapat dilaksanakan secara tidak tetap tergantung situasi dan kondisi.
1.      Yama Brata, yakni lima jenis disiplin utama yang disebut mahavrata ‘janji agung’ : “ahimā satasteya brahmacaryāparigraha yamāh” (Yogasutra, II:30). Artinya dijabarkan sebagai berikut :
-          Ahimsa : Tidak bersikap dan berlaku kasar kepada sesama maupun kepada makhluk lain, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan;
-          Satya : bersikap dan berperilaku bajik. Benar pada pikiran setia pada ucapan, dan jujur pada perbuatan;
-          Asetya : tidak mencuri atau menginginkan milik orang lain;
-          Brahmacarya : bersikap dan berlaku terkendali mengendalikan nafsu asmara;
-          Aparigraha : hidup sederhana atau tidak serakah. Dapat menerima kenyataan hidup apa aadanya. Hanya menerima yang sungguh-sungguh diperlukan.

2.      Niyama Brata, yakni lima disiplin penunjang untuk mengukuhkan yama brata : “Sauca samtosa tapah svādyāyesvara pranidhānāni niyamah” (Yogasutra, II : 32). Artinya diterangkan sebagai berikut :
-          Sauca : berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun bathin. Termasuk di dalam kebersihan lingkungan. Dapat dilakukan dengan tirtayatra : mandi suci dan mendatangi orang suci untuk memohon siraman rohani;
-          Santosa : berusaha menjaga kestabilan emosi agar selalu tenang, arif, dan damai. Tidak resah menghadapi masalah hidup;
-          Tapa : berusaha untuk tahan uji. Melenyapkan ketidaksempurnaan diri dengan melakukan tapa. Pantang menyerah, berpegangan teguh pada dharma;
-          Swadhyaya : berusaha belajar mandiri. Tekun mempelajari kitab suci;
-          Iswarapranidhana : selalu berusaha memusatkan pikiran dan bhakti kepada Iswara ‘Tuhan’.

C.     Astangga Yoga
Astangga yoga berarti delapan tahapan yoga. Ke delapan tahapan yoga ini satu dengan yang lainnya saling terkait. Mengabaikan salah satu komponen penting tahapan ini berarti menghancurkan system yoga dan itu berarti gagal, maka dalam lontar Tattwa Jnana disebutkan prayogasandhi. Delapan tahan yoga dimagsud adalah : yama, niyama, asana pranayama, prthyahara, dharana, dhyana, Samadhi. Yama dan Niyama adalah dasar moral yoga seperti yang telah dibahas dalam etika yoga di atas. Jadi tidak perlu dibahas lagi. Enam tahapan yoga lanjutannya diterangkan secara singkat sebagai berikut :
-          Asana. Kata asana berarti sikap duduk yakni duduk dengan sikap sempurna : duduk menurut system yoga. Maksudnya, orang akan mampu duduk dengan benar dan baik bilamana keadaan fisiknya sehat sempurna. Oleh karena itu, para peminat yoga pertama-tama hendaknya membina kebugaran fisiknya melalui olahraga yoga yang sering disebut yoga asana. Ada berbagai variasi asana itu dapat dikelompokkan dalam posisi (1) duduk, (2) berdiri termasuk di dalamnya posisi berdiri terbalik, dan (3) terlentang. Orang dapat memilih beberapa variasi asana. Jadi sesuaikan dengan keadaan fisik peminat yoga. Tidak diperkenankan terlalu memaksakan diri. Kebugaran fisik ditentukan oleh pola makan.
-          Pranayama. Kata Pranayama berarti latihan pernapasan, menurut system yoga. Pranayama terdiri atas (1) puraka ‘menarik nafas’, (2) kumbhaka ‘menahan napas’, recaka ‘mengeluarkan napas’. Ada beberapa jenis latihan nafas. Akan  tetapi yang paling umum adalah bernapas melalui hidung. Ada napas mendengus, keras , dan berat ada pula nafas rileks, halus alami. Dalam latihan pernapasan peserta yoga tidak dianjurkan terlalu memaksakan diri. Tujuan utama latihan pernapasan adalah agar tidak mengalami gangguan pernapasan. Jadi, dapat bernapas lega dan alami.
-          Prathyahara,kata prathyahara berarti penarikan dari, artinya menarik indriya dari objek kesukaannya. Masing-masing indra memiliki kesenangan sendiri-sendiri, misal indra mata suka akan rupa dan warna indah, tetapi benci kepada rupa dan warna yang buruk. Bila indria dapat diawasi pikiran maka ia tidak akan berkeliaran pada objeknya namun ia akan mengikuti pikiran. Hal ini bukanlah mudah, ia dapat dicapai melalui latihan yang lama penuh kesabaran.
-           Dharana. Kata dharana berarti tindakan memegang, membawa, menguasai, memiliki. Setelah indra ditarik dari objeknya dan di bawa pengawasan manah atau pikiran maka langkah lebih lanjut adalah memegang atau menguasai indra-indra itu dan memusatkan pikiran pada objek meditasi. Pemusatan pikiran dapat dilakukan pada salah satu cakra ‘simpul daya bathin’. Maharsi Patanjali mengajarkan tiga cara dharana : (1) menguasai indra-indra agar tetap terkonsentrasi pada satu titik objek saja; (2) menentramkan gerak-gerik pikiran dengan watak lemah-lembut, penuh kasih saying, ceria, dan tenang baik dalam keadaan duka ataupun suka; dan (3) mengkonsentrasikan indra nafas yang keluar masuk tubuh.
-          Dyana. Kata dyana berarti meditasi, refleksi, pemusatan pikiran disebut juga kontemplasi atau renungan mendalam. Maharsi Patanjali menjelaskan : “Tatra pratyaikatanata dhyanam” artinya, arus pikiran tekonsentrasi tak putus-putusnya pada objek renungan. Seperti halnya air sungai yang terus melaju menuju laut, demikian pulalah hendaknya renungan itu terpusat pada Iswara ‘Tuhan’.
-          Samadhi. Kata Samadhi berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam artinya kumpulan persamaan, gundukan, timbunan. Sedangkan dhi artinya pikiran, ide-ide, budi. Dengan demikian, secara etimologis Samadhi berarti pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan kepada satu objek sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Samadhi adalah pengalaman unik dan langka yang disebut pengalaman religious. Orang yang pernah mengalami pengalaman ini pastilah siddhi dan atau taksu ‘daya supra dan kharisma’. Ia adalah orang yang tercerahi, maka berkeperibadian sentosa. Bebas dari penderitaan. Langka adanya orang yang berhasil mengalami pengalaman ini. Dikatakan bahwa, hanya ia yang tekun yang berhasil menjapai keadaan ini.

2.2              PANDANGAN YOGA TENTANG TUHAN
Dalam ajaran yoga mengakui adanya Tuhan. Adanya Tuhan dipandang lebih bernilai praktis dari  pada bersifat teoritis yang merupakan tujuan terakhir dari yoga. Tentang hal ini dikemukakan oleh Maharsi Patanjali dan pula pada komentator ajaran yoga yang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya alam semesta beserta isinya. Maka itu sistem yoga bersifat teori dan praktek terhadap keberadaan Tuhan tersebut.
Tuhan dalam ajaran yoga dipandang sebagai jiwa yang Maha Agung yang mengatasi jiwa perorangan dan bebas dari semua penderitaan. Dia adalah Maha Sempurna, kekal abadi, maha kuasa, dan maha mengetahui. Sedangkan jiwa perorangan diliputi oleh klesa-klesa seperti kebingungan, rasa aku, keinginan yang berlebihan, ketakutan dan kematian. Manusia dalam hidupnya melakukan berbagai pekerjaan yang ada baik, buruk, dan campuran keduanya, yang semua ini merupakan karma dan karma wasana dapat mempengaruhi kehidupan di dunia. Tuhan adalah Roh yang abadi yang tidak tersentuh oleh duka cita, maha kuasa, berada dimana-mana dan maha tahu. Ia adalah penguasaa tertinggi di dunia ini, yang mempunyai pengetahuan tak terbatas, kekuatan yang tak terbatas yang membedakan ia dari pribadi-pribadi yang lain.
Bhakti kepada Tuhan tidak hanya merupakan praktek yoga, tetapi juga merupakan sarana pemusatan pikiran dan Samadhi. Tuhan akan memberikan karunia kepada seseorang yang bhakti kepada-Nya berupa kesucian dan penerangan bathin. Tuhan melenyapkan semua rintangan jalan orang-orang yang berbhakti kepada-Nya, seperti duka cita dan menempatkannya dalam suasana yang menyenangkan. Namun sementara rahmat Tuhan dapat bekerja dengan mengagumkan pada diri kita, maka kita harus siap menerimanya, dengan jalan cinta kasih, murah hati, jujur, suci dan sabar.


Hindu di Bali



Konsepsi Monotheisme Dalam Kehidupan Agama Hindu Di Bali
Agama Hindu di India maupun agama Hindu di lain tempat misalnya di Jawa maupun di Bali tak mempunyai perbedaan dalm inti keagamaannya, yang berbeda hayalah kulit luarnya saja yaitu tentang pelaksanaan upacaranya,sedangkan isinya dan intinya tetap sama. Ajaran Wedanya tetap abadi, intinya tidak berubah hanya bagian luarnya yang bervariasi, menyesuaikan dengan budaya setempat dimana agama itu berkembang.
              Ajaran Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran çiwa sidhanta. Yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Serta pada Tri Purusa yaitu parama Siwa,Sada Siwa dan Siwa. Pengertian Tri Purusa ialah lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas, alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai Parama Siwa (atas), Sada Siwa (tengah), dan Siwa (Bawah). Sedangkan Tuhan sebagai penguasa arah laut (kelod), tengah dan kaja (gunung), disebut Tri Murti, yaitu Brahma arah Laut, tengah Siwa dan arah Gunung Wisnu.
Siwa Sidhanta berasal dari kata Siwa dan Sidhanta, Siwa berarti paham Siwa sedangkan Sidhanta berarti pengetahuan tertinggi. Karena barang siapa yang mengetahui tentang Sidhanta ia akan dianggap dewasa walaupun ia masih anak-anak. Jadi Siwa Sidhanta berarti ajaran Siwa yang tertinggi.
              Kitab Weda dikenal dengan nama “Weda Sirah” kata Sirah berarti kepala atau pokok-pokok, karena ajaran tersebut diambil atau dipetik pada bagian-bagian penting dari dari Catur Weda. Jadi dengan demikian Weda Sirah berarti pokok-pokok inti Weda.
Di Bali ajaran Siwa Sidhanta berkembang luas sampai kini, adapun Maharsi yang mengembngkan ajaran Siwa Sidhanta Ke Bali ialah Mpu Kuturan dan Hyang Nirarta.  Mpu Kuturan membawa konsepsi pemujaan pada Tri Murti sedangkan Hyang Nirata tentang konsepsi Tri Purusa, bangunan padmasana ajaran Panca Yadnya dan lain-lainnya.
Membicarakan masalah ketuhanan tidak terlepas dari teori sumber penciptan alam. Teori-teori yang mengupas tentang sumber penciptaan alam semesta, kalau di India melalui pustaka suci Upanisad, namun di Bali melalui Tattwa, seperti Wraspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Tattwa Jnana, Purwa Bali Kemulan, Bhuwana Kosa Aji Sanghya dan lain-lainnya. Jadi dengan demikian apa yang disebut Tattwa di Bali adalah ajaran agama yang memuat tentang teori ketuhanan (Parama Siwa).
Jadi perhatikan realitas kehidupan agama Hindu di Bali, lebih menitik beratkan  kepercayaannya kepada Tri Murti sebagai Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Widhi. Ketiga Dewa Tri Murti tersebut pada hakekatnya adalah lambang dari ketiga proses Dunia, yaitu Sristhi (ciptaan) yang disebut Brahma, Sthiti (Perlindungan) yang disebut Wisnu dan Pralaya (pengembalian pada unsur semula) yang disebut Siwa. Ketiga tersebut disemboliskan dengan Aksara Suci “Om” yang terdiri dari Ang berarti Brahma, Ung berarti Wisnu dan Mang berarti Siwa, jadi Ang + Ung + Mang sama dengan “Om”. Hal tersebut sering terlihat pada setiap permulaan dari Mantera dan “pemahbah”  (permulaan) tulisan lontar-lontar di Bali yang dimulai dengan ucapan “Om Awignam Astu” yang artinya semoga atas nama Hyang Widhi dengan ketiga manifestasi-Nya, terhindar dari Mara bahaya. 
1.      Paramaśiwa Tattwa adalah kategori kesadaran Bhṭāra Śiwa yang tertinggi, yaitu kesadaran abadi yang bebas nilai, nirguna dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, niskala. Oleh karena itu Paramaśiwa adalah kesadaran yang tidak terpikirkan. Tidak ada bentuk dan sifat apa pun yang dapat menjadi tanda untuk menandai Bhṭāra Śiwa dalam kategori kesadaran tertinggi ini. Walaupun demikian, setidak-tidaknya untuk orientasi pendakian spiritual disimbolkan juga dengan yang disebut  nāda (   ). Secara theologies, dengan menguasai pengetahuan yang membebaskan kesadaran terunggul ini dapat dipahami sebagai esensi Bhṭāra Śiwa, yaitu kesadaran termurni yang abadi dan universal. Esensi Tuhannya penganut paham Śiwasiddhānta Indonesia.
2.      Sadāśiwa Tattwa adalah kategori kesadaran Bhṭāra Śiwa yang berpribadi yang senantiasa aktif, karena memiliki guna, saguṇa: serba tahu dan serba kerja. Pribadi Agung dilukiskan duduk aktif di singgasana-Nya yang disebut Padmāsana. Padmāsana adalah Caduśakti, empat keesaan-Nya: Mahatahu, Mahakarya, Mahasempurna, dan Mahakuasa. Oleh kartena itu, secara teologis Sadāśiwa dapat dipahami sebagai eksistensi dari Bhṭāra Śiwa dan \dalam aksara Bali disimbulkan dengan windu (  o ).
3.      Atmika Tattwa Iadalah kategori kesadaran yang dikaryakan. Kesadaran yang dititahkan untuk menjadi roh mahakarya-Nya. Untuk itu, kesadaran ini menyusup – menguntai pada Hakikat Ketiadaan, Māyā Tattwa. Hubungan antara  Sadāśiwa dengan Ātmika diibaratkan seperti matahari dengan sinarnya, yaitu sinar yang menyusup untuk mendapat wujud dan sifat relative, Māyā. Dalam aksara Bali dilambangkan dengan Adracandra  (   ) (Suka yasa dan Sarjana : 2011 : 74).

Bila dikaji dari kitab suci weda maupun dari praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan banyak nama. Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa itu tidak berwujud, dan di dalam bahasa-bahasa Sansekerta disebut Acityarupa yang artinya : tidak berwujud dalam pikiran manusia (Monier:993:9), dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan “tan kagrahita dening manah mwang indriya” (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Jelasnya bagi kita bahwa Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Esa, Ia disebut juga Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan aneka persembahan, maka ia dipuja sebagai Tuhan yang personal, yang berkepribadian. Sang Hyang Widhi hanya satu tetapi umat Hindu di Indonesia member gelar atau menyebut-Nya dengan berbagai nama sesuai dengan fungsi dan swabawanya masing-masing seperti :
a.    Sanghyang Tunggal yang artinya Tuhan yang bersifat Esa tidak ada duanya dan tidak terbatas.
b.   Sanghyang Guru yang nantinya Tuhan menjadi guru, seluruh alam dan isinya semua adalah sisya-nya, disamping hal tersebut Sang Hyang Guru juga mengandung makna bahwa Tuhan merupakan sumber segala ilmu.
c.    Sanghyang Sangkan Paran kata sangkan berarti asal mula, sedangkan paran berarti tujuan kembali seluruh alam. Jadi Sang Hyang Sangkan Paran berarti Tuhan yang menjadi asal dan tujuan kembalinya seluruh alam beserta isinya. Karena makhliuk di dunia  ini asal mulanya adalah dari Tuhan, sehingga ia harus kembali ke asal yaitu Tuhan.
d.   Sanghyang Jagatnatha atau Sanghyang Prajapati yang artinya Tuhan menjadi raja seluruh alam beserta isinya. Karena kata jagat sama dengan kata Praja, yang artinya alam, sedangkan kata Natha sama dengan Pati yang artinya Raja. Ini berarti Tuhan memegang kekuasaan yang mutlak terhadap seluruh isi alam semesta ini. Seluruh isi ala mini harus tunduk dan menurut pada perintah-Nya.
e.    Sanghyang Prameҫwara atau Maheҫwara artinya Tuhan pemegang pimpinan yang tertinggi terhadap seluruh ala mini.
f.    Sanghyang Triloka Sarana yang artinya Tuhan sebagai pelindung ketiga ala mini, yaitu alam bawah (Bhur), alam tengah (Bwah), alam atas (Swah).
g.   Sanghyang Paraatma yaitu gelar Tuhan dalam keadaan sebagai atma atau jiwa yang tertinggi, yaitu menjiwai seluruh makhluk alam semesta.
h.   Sanghyang Parama Kawi artinya Tuhan  dalam fungsinya perencana atau mengarang tertinggi dari keadaan alam dan makhluk, misalnya tentang keindahan alam, kehidupan di dunia dan lain-lain.
i.     Sanghyang Wenang yaitu gelar yang diberi pada Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai pemegang wewenang dan kekuasaan yang mutlak dan membentuk susunan peraturan alam sehingga terjadi keharmonisan.
j.     Sanghyang Tuduh yaitu gelar yang diberikan pada Tuhan karena Ia memegang untung nasib makhluk di dunia.
k.   Sanghyang Prama Wisesa gelar yang diberikan kepada Tuhan dalam keadaan sebagai penguasa tertinggi yang menguasai segala-galanya, baik yang aka nada, Ialah yang menguasai segala yang ada dan tiada.
l.     Sanghyang acintya yaitu gelar Tuhan karena Ia tidak terpikirkan oleh manusia, tak seorangpun yang mengerti keadaan-Nya yang sebenarnya, tidak dapat dihayalkan dengan tepat wujud dan rupanya karena Ia amat gaib tidak tertangkap oleh pikiran manusia.

Demikian beberapa gelar atau sebutan Tuhan yang sesuai dengan fungsi dan kekuatan-Nya. Walaupun beliau diberi banyak gelar atau sebutan namun sesungguhnya Beliau adalah Tunggal.